Kota besar di seluruh dunia kini menghadapi krisis hutan kota. Lahan hijau yang dulunya menjadi paru-paru urban perlahan hilang, digantikan beton, gedung pencakar langit, dan jalan raya.
Akibatnya, kualitas udara memburuk drastis. Polusi meningkat, suhu kota naik, dan kesehatan masyarakat semakin terancam.
Hutan kota seharusnya menjadi penyeimbang ekosistem urban, menyerap karbon, menghasilkan oksigen, serta menjadi tempat resapan air. Namun, pertumbuhan penduduk dan ambisi pembangunan sering mengorbankan keberadaannya.
Beberapa kota mencoba mengatasinya dengan konsep vertical forest, yakni menanam pohon di gedung tinggi. Meski inovatif, solusi ini masih sangat mahal dan belum bisa menggantikan fungsi hutan alami.
Warga sipil kini semakin vokal menuntut pemerintah mengalokasikan lahan untuk ruang hijau. Demonstrasi lingkungan kerap terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Delhi, hingga Mexico City.
Keunggulan mempertahankan hutan kota bukan hanya kesehatan, tapi juga kenyamanan. Kota dengan ruang hijau cukup terbukti lebih sejuk, lebih damai, dan warganya lebih produktif.
Namun, tanpa regulasi ketat, krisis hutan kota akan semakin parah. Banyak pengembang properti lebih memilih membangun mall atau apartemen daripada taman umum.
Hutan kota bukan sekadar estetika, tetapi kebutuhan vital untuk kelangsungan hidup masyarakat urban.

